Kota Sastra

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram
"Idiom" karya Matej Kren di Perpustakaan Kota Praha. Foto @ Zen Hae

Ketika aku sampai di kota itu, lampu-lampu jalan masih menyala. Mereka akan dipadamkan serentak pada pukul enam pagi—pada musim dingin pukul delapan pagi. Setengah jam lagi. Akan tetapi, lampu di dalam rumah-rumah warga lebih lambat dipadamkan dari jadwal pemerintah kota. Sebab para penghuninya masih akan mengerjakan ini dan itu di dalam rumah hingga menjelang siang. Baik itu membersihkan rumah, memasak, berolahraga maupun membaca.

Jika kau punya rasa ingin tahu yang sedikit berlebihan, maka tataplah kaca-kaca jendela yang terang itu, akan tampak bayang-bayang orang yang merunduk atau bersandar pada bangku. Mereka tengah menekuni buku-buku kesukaan mereka sebagai semacam upacara untuk menyambut pagi yang kehangatannya akan makin berkurang seiring beralihnya musim di kota itu. Setelah itu mereka akan berganti pakaian yang lebih hangat untuk melanjutkan pekerjaan mereka berikutnya di kebun hingga tengah hari, atau sekadar berjalan-jalan di taman-taman kota. Yang tak kalah penting: mengunjungi perpustakaan.

Membaca dan berkebun—di samping kegiatan rumahan lainnya—telah menjadi kebiasaan jamak kaum tua kota itu. Mereka menghabiskan sisa usia mereka dengan pekerjaan-pekerjaan yang ringan dan menyenangkan, seakan terpisah dari laju kota yang mahasibuk dan penuh oleh pelancong dari segala penjuru dunia. Bukankah dengan berkebun mereka sebenarnya tengah berolahraga, dan dengan membaca mereka bisa menikmati dunia yang lain dari kehidupan sehari-hari. Mereka bertamasya di haribaan kata-kata.

Kaum tua yang menggemaskan itu akan dengan sangat mudah mendapatkan buku-buku yang mereka inginkan. Seluruh perpustakaan di kota itu, baik yang dikelola oleh pemerintah maupun oleh komunitas—bahkan perpustakaan pribadi yang dibuka untuk pengunjung terbatas—saling terhubungkan melalui katalog daring. Misalnya, jika aku hendak mencari buku tentang sejarah kota itu semasa Perang Dunia Kedua, maka aku tinggal mengetik kata kunci yang kumaksudkan, dalam beberapa detik daftar buku yang kucari akan muncul: perpustakaan mana yang menyediakan buku itu, berapa eksemplar jumlahnya, apakah boleh dipinjam atau hanya boleh dibaca di tempat.

Menjangkau perpustakaan pun bukanlah suatu kesulitan. Setiap lokasi perpustakaan dihubungkan dengan jaringan transportasi kota yang terintegrasi satu sama lain: bus, trem, metro. Dan semua angkutan kota dibandrol dengan tarif murah—gratis untuk warga lanjut usia.

Pernah pada suatu ketika aku diundang ke sebuah pembicaraan buku di perpustakaan kota, yang letaknya terlindungi oleh bangunan-bangunan tua yang selalu menjadi magnet untuk para pelancong. Kami duduk di sebuah ruangan berukuran empat kali lima meter yang dikelilingi oleh rak-rak buku yang tersusun rapi dengan udara yang terasa hangat dari heater di dinding perpustakaan. Yang hadir tidak lebih dari lima belas orang—umumnya anggota perpustakaan itu; sepuluh orang tua; sisanya anak muda. Karena aku tidak paham bahasa setempat, seorang penerjemah mengalihbahasakan omonganku dalam bahasa Inggris ke bahasa setempat. Ini dilakukan untuk kaum tua yang tidak berbahasa Inggris, sementara anak-anak mudanya dengan mudah memahami apa-apa yang kukatakan. Semuanya dengan sungguh-sungguh menyimak ceritaku dan mereka ingin tahu macam apa sebenarnya Indonesia sekarang. Satu-dua dari mereka pernah melancong ke Bali ketika Soeharto baru berkuasa dan bercerita tentang Indonesia saat itu sebagai bahan pembicaraan denganku. Mereka juga bertanya tentang Soekarno—yang pernah mengunjungi kota itu pada akhir 1950-an.

Perpusatakaan kota secara berkala menyelenggarakan acara pembicaraan buku koleksi mereka atau buku-buku terbaru yang sedang menjadi bahan perbincangan, di ruang perpustakaan atau di taman-taman kota yang memang sangat nyaman untuk membaca atau menikmati keindahan pepohonan. Bukan sekali dua perpustakaan kota juga bekerja sama dengan kafe atau tempat nongkrong yang dikelola anak-anak muda untuk menyelenggarakan acara pembacaan dan pembicaraan sastra.

Jika kau ingin menikmati acara perbincangan buku yang lebih trendi, datangilah acara-acara yang diselenggarakan anak-anak muda. Biasanya mereka menggelar acara itu pada malam hari, atau sore hari pada akhir pekan, setelah mereka menyelesaikan kegiatan rutin mereka di kantor. Acara-acara ini diselenggarakan oleh komunitas-komunitas pencinta buku—yang di sini disebut dengan istilah keren “komunitas literasi”. Mereka menyelenggarakan acara-acara pertemuan sastra yang intim dan melibatkan bukan hanya penulis, tetapi juga seniman dari bidang lain, bahkan kaum intelektual lintas disiplin. Jadwal acara-acara itu juga diintegrasikan dengan jadwal acara-acara serupa bikinan perpustakaan kota, sehingga tidak ada pengulangan tema atau tabrakan acara atau gandaan penampil.

Acara-acara mereka terlihat lebih trendi karena sangat memperhitungkan apa yang tengah terjadi di kalangan anak muda: buku, mode, kuliner, budaya populer hingga politik kontemporer. Tidak heran jika dalam acara seperti ini kau akan menemukan anak-anak muda dengan mode pakaian terbaru dan eksentrik tetapi dengan sangat serius mengikuti perdebatan tentang buku atau isu-isu kesastraan yang tengah diperbincangkan. Yang punya kemampuan performance art bukan sekali dua mempertunjukkan kebolehan mereka di tengah-tengah acara, sebagai selingan mengejutkan—semacam jeprut bagi anak-anak Bandung.

Bahkan, aku pernah diajak temanku, penulis setempat, ke sebuah acara perbincangan buku di sebuah stasiun kereta yang cukup sibuk. Acaranya di sebuah kafe di pojok stasiun. Orang memang tampak keluar-masuk kafe itu untuk membeli makanan dan minuman, tetapi peserta diskusi dengan khusyuk mendengarkan pembicaraan dan sesekali saling menanggapi apa yang tengah didiskusikan. Mereka tidak merasa terganggu oleh keramaian suasana, lalu lintas pengunjung dan suara pengeras suara petugas stasiun yang sesekali memberitahukan jadwal keberangkatan kereta—ya, seperti di Stasiun Senen.

Sekali dalam setahun pemerintah kota menyelenggarakan festival sastra yang melibatkan para penulis terbaik kota itu, dengan undangan para penulis kota-kota lain, bahkan penulis asing yang mereka pandang tengah menjadi pembicaraan para pencinta buku. Mereka menyelenggarakan acara sebulan penuh untuk memperingati kelahiran seorang sastrawan kelahiran kota itu yang juga terhitung sastrawan garda depan di tingkat nasional. Aku datang ke kota ini, sekali lagi, untuk menghadiri acara tersebut. Mereka tertarik dengan sejumlah tulisanku yang menyinggung manusia dan kehidupan kota itu. Mereka kaget sekaligus tersanjung sebab ada seorang penulis dari negeri yang jauh yang menulis tentang kehidupan pengemis dan penjual bunga di depan permakaman kota mereka.

Pemerintah kota juga mendukung penerjemahan buku-buku sastra dan non-sastra tentang kota itu ke dalam bahasa asing, terutama Inggris. Melalui buku-buku terjemahan itu, para pelancong atau mereka yang ingin mengenal kota itu secara mendalam—untuk sebuah penelitian sejarah dan antropologi misalnya—bisa menikmati karya-karya terjemahan yang ada. Untuk bisa mengasilkan buku-buku tersebut, pemerintah kota juga menaja penulisan dan penerbitan buku-buku tersebut, baik melalui program commisioned works maupun sayembara penulisan atau pemberian hadiah buku terbaik setiap tahunnya.

Selain promosi yang sifatnya memperkenalkan buku-buku tentang kota itu ke dunia luar, setiap tahunnya pemerintah kota juga mengirimkan para penulis terpilih ke seluruh dunia sebagai penulis mukiman (writer-in-residence). Karena alokasi anggaran pemerintah kota untuk program ini tidak terlalu besar, pemeritah kota menggandeng perusahaan swasta, bahkan dana dari industri minuman keras dan perjudian, untuk mendukungnya. Kelak para penulis mukiman itu kemudian dengan bangga menuliskan keterangan di awal tulisan mereka: “Didanai oleh pemerintah kota—termasuk dengan dana dari minuman keras dan perjudian.” Sebab, pemerintah kota itu bukan pemerintah “beragama”, dana apa pun yang masuk sebagai pajak dan dana CSR, akan digunakan semaksimal mungkin untuk pembangunan kota dan warganya.

Uniknya, kota ini belum pernah mendapatkan gelar “City of Literature” dari Unesco—kudengar pemerintah kota ini juga tidak tertarik mengajukan tawaran untuk mendapatkan gelar ini—tapi kota ini telah menjadi “Kota Sastra” yang sebenar-benarnya. Iklim membaca buku, jaringan perpustakaan, pembicaraan buku, festival sastra, jaringan penulis, industri penerbitan dan promosi buku-buku dalam bahasa asing telah terselenggara dengan baik di kota itu. Aku benar-benar menikmati suasana “Kota Sastra” di kota yang tidak pernah mendapatkan status tersebut.

Sebuah “Kota Sastra” yang sebenarnya tidak dibangun dalam usaha satu-dua tahun, tetapi oleh kerja keras yang panjang, oleh tradisi membaca dan mencintai buku yang berlangsung dari generasi ke generasi, oleh kerja keras dan komitmen bersama pemerintah kota, pengusaha setempat dan warganya yang telah teruji. Mereka telah membuktikan semua itu—tanpa peduli akan mendapatkan status “Kota Sastra” atau tidak.

Sementara kotaku baru saja mendapatkan gelar “City of Literature” dari Unesco berkat usaha keras penawaran dalam dua tahun. Ada yang gembira, ada yang tidak ambil peduli. Sebagai orang yang lahir dan besar di kota ini, aku mengenal cukup baik kotaku. Termasuk pertumbuhan kesusastraan dan perbukuannya. Bagiku, ini sebuah gelar yang hampir tidak bermakna apa-apa, kecuali bunyinya yang indah. Aku terpaksa harus menyatakan ini. Apa boleh buat. (Zen Hae)

 

Dibaca

kali