Tujuh Segi Sewu Dino

Bagikan:

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Share on telegram

Dalam Tegangan Klasik—Jika kita menonton film-film horor Indonesia yang menampilkan hantu atau orang kerasukan setan—baik dari masa Orde Baru maupun sesudahnya—maka dengan mudah kita menemukan perempuan sebagai tokohnya. Apakah itu kuntilanak, sundel bolong, nenek gerondong, nini towok, wewe gombel, si manis dari Jembatan Ancol, suster ngesot atau arwah penasaran yang bangkit dari kubur . . . semuanya perempuan. Banyak yang mengatakan bahwa itu adalah cermin dari ketakutan masyarakat patriarkis terhadap sosok perempuan yang kuat. Sesungguhnya, itu baru separuh kebenaran. Sebab, jika kita periksa lebih saksama lagi, kenyataannya tidak sepenuhnya begitu.

Tanpa kita sadari sepenuhnya, perempuan yang menjelma hantu atau kerasukan, yang telah menebarkan teror di sekelilingnya, adalah korban dari masyarakat patriarkis dianggap ketakutan tadi. Yang menjadi hantu pada mulanya adalah ia yang hidup di antara kita. Setelah mengalami kekejian—tidak jarang, kekerasan seksual—ia mati. Kelak, ia akan bangkit kembali untuk membalas dendam. Ia yang tidak berdaya semasa hidup akan menuntut balas dari kehidupan berikutnya, dari alam lain. Akan tetapi, menjadi hantu atau kerasukan adalah situasi darurat dan sementara yang pada akhirnya yang menjelma atau merasuki tubuh orang lain itu mesti dibebaskan, mesti disucikan, dan di situlah tampil laki-laki sebagai pahlawan. Singkat kata, perempuan harus menderita agar laki-laki bisa menjadi pahlawan.

Film Sewu Dino (2023) garapan Kimo Stamboel produksi MD Pictures adalah film horor yang lain. Tidak sepenuhnya begitu.

Bahwa ia menggarap kembali santet atau teluh, sebuah topik supernatural yang sangat populer di Indonesia, itu sudah pasti. Tetapi, bagaimana ia menempatkan korban santet dan proses pembebasannya itulah yang jadi penting. Sewu Dino memasang tokoh-tokoh pentingnya dari kalangan perempuan: Karsa Atmodjo, Dela, Sri, Erna, Dini. Ia hanya memberi peran penting kepada sedikit laki-laki: Sugik, Tamin, Sabdo Kuncoro. Seluruh kisah film ini dilatari oleh perang santet antara Karsa Atmodjo melawan musuh bebuyutannya, Sabdo Kuncoro. Dominasi patriarki dalam perkara santet hendak ditumbangkan oleh kaum perempuan. Untuk itulah, Karsa Atmodjo membutuhkan sejumlah “prajurit bayaran” untuk melawan Sabdo Kuncoro.

Kenapa prajurit bayaran?

Untuk mendapatkan orang-orang yang mau membantunya melawan Sabdo Kuncoro, Karsa Armodjo mengiming-imingi hadiah sepuluh juta rupiah. Itu pun dengan tipu muslihat halus. Pada mulanya ia memasang iklan mencari asisten rumah tangga, tapi selanjutnya perempuan-perempuan muda yang termakan oleh iklan itu mesti mengurus korban santet sekaligus membebaskannya. Karena itu, motivasi ekonomi sangat kuat dari para perempuan muda yang mendaftar sebagai orang-orang Karsa Atmodjo. Umumnya mereka datang dari kalangan orang kesulitan uang. Termasuk Sri Rahayu (Mikha Tambayong). Ayahnya sedang sakit keras dan sangat memerlukan pengobatan.

Jika situasi ini didudukkan di bawah bayang-bayang analisis Marxian, maka akan jadi begini: kaum kapitalis mengeksploitasi kaum proletar demi keselamatan dirinya dan keluarganya. Namun, pada saat yang sama juga muncul kecenderungan yang saya sebutkan tadi, memanfaatkan sebanyak mungkin tenaga kerja perempuan itu terlibat dalam proyek penyelamatan Dela Atmodjo, cucu Karsa Atmodjo, yang menjadi korban santet. Tentu kita bisa bertanya, kenapa mesti semuanya perempuan? Kenapa hanya kaum proletar perempuan yang diminta mendaftar, tidak proletar laki-laki?

Pertama adalah karena, sesuai iklan, pekerjaan asisten rumah tangga lebih banyak dilakukan oleh perempuan ketimbang laki-laki. Kendati demikian, penggeseran bidang kerja ke arah penyelamatan Dela dari rundungan santet membuat aroma kelicikan itu menguap dan merebaklah aroma baru: heroisme. Kita mesti memegang poin terakhir sebagai yang ingin lebih dikedepankan film ini. Dan tugas suci penyelamatan ini memerlukan dua subjek yang dalam film ini sama-sama dipegang perempuan: korban dan pahlawan.

Baik juga jika kita periksa posisi Sri. Pada mulanya, ia adalah korban penipuan iklan asisten rumah tangga tadi, tetapi kesadaran itu datang terlambat, ketika konflik mulai menanjak. Karena itu, tidak bisa tidak, ia mesti menerima nasibnya sebagai prajurit bayaran Karsa Atmodjo. Lagian, ia adalah perempuan satu-satunya, yang digadang-gadang bisa menyelamatkan Dela. Agar tugas mulia ini bisa bisa dipercaya Sri, bisa menerbitkan belas kasihannya, maka Dela harus dibuat setidakberdaya mungkin. Tubuhnya diikat di balik keranda. Ia dikucilkan dan sama sekali tidak bisa melawan kekuatan iblis. Ketidakmampuan (disabilitas) fisik di sini menjadi penting. Disabilitas adalah satu posisi yang membuat teror mendapatkan penguatannya. Di sinilah bekerja tegangan klasik dalam horor—sebagaimana ditegaskan Paul K. Longmore—antara disabilitas dan kriminalitas.

Lantas, kenapa pula Dela mesti diselamatkan?Tentu saja, karena ia adalah korban. Menyelamatkan korban—seberapa pun peluang keberhasilannya—adalah sebuah kebajikan. Dalam cerita bertema kepahlawanan prinsip ini penting. Akan tetapi, posisinya sebagai cucu orang kaya, itu jauh lebih penting. Jika Dela dibiarkan mati, risiko paling nyata adalah kerajaan bisnis Karsa Atmodjo tidak punya penerus. Jika itu terjadi, kematian Karsa Atmodjo tinggal menunggu waktu dan akan menjadi soal serius terkait aset-aset bisnisnya. Dengan kata lain, penyelamatan Dela juga bermotif penyelamatan bisnis keluarga. Jika Dela tetap hidup maka Karsa Atmodjo akan punya penerus bukan hanya di bidang bisnis, tetapi juga dalam perang santet melawan Sabdo Kuncoro.

Akhirnya, kita tahu, Dela selamat berkat pengorbanan Sri.

 

Kiai Tidak Ambil BagianSewu Dino  bukan hanya menempatkan perempuan sebagai korban sekaligus pahlawan, tetapi juga melanjutkan kecenderungan baru dalam film-film horor Indonesia setelah Orde Baru. Yakni, absennya peran kiai atau pemimpin keagamaan dalam menumpas kekuatan setan dan dalam mengembalikan segala kekacauan kepada tertib sosial seperti sedia kala.Sebagaimana studi Katinka van Heeren dalam Contemporary Indonesian Film: Spirits of Reform and the Ghost from the Past (2012), kemunculan sosok kiai atau pemimpin keagamaan adalah fenomena penting dalam film-film horor yang diproduksi sepanjang masa Orde Baru. Ini bagian dari kode etik produksi film, sebab film sebagai representasi “budaya nasional” mesti menonjolkan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sehingga sosok kiai da pemimpin agama sebagai protagonis pengusir atau pembasmi setan tidak terelakan lagi. Menuru Katinka, absennya kiai telah “menunjukkan kebebasan berekspresi yang baru di kalangan para pembuat film” setelah masa Orde Baru.

Sebaliknya, Sewu Dino memanfaatkan kekuatan lokal, perpanjangan tangan dari penjaga kekuatan magis pra-Islam, yakni dukun, yang ironisnya dipegang oleh laki-laki. Sebaliknya, film-film horor masa Orde Baru—sebutlah Guna-guna Istri Muda (1977) atau Nini Towok (1982)—memasang dukun perempuan sebagai biang kerok. Itulah kenapa langkah maju yang telah ditempuh Sewu Dinosebelumnya, seperti terkoreksi. Dalam hal perang habis-habisan melawan santet, yang menguasai perbendaharaan ilmu melawan santet adalah Tamin (Pritt Timothy). Tapi, baiklah, itu bisa dimaafkan, sebab Tamin bekerja untuk Karsa Atmodjo, perempuan sang penguasa sejati cerita ini.

Faktanya memang dalam film ini dua kekuatan santet saling bertarung tanpa mengindahkan otoritas wakil Tuhan sebagai juru selamat. Film ini juga hendak menegaskan, biarlah pertarungan berlangsung di gelanggang ilmu hitam, di antara mereka yang telanjur sesat, wakil Tuhan jangan ikut-ikutan. Pertarungan itu sendiri berlangsung dengan menghancurkan dinding tebal yang membatasi alam dunia dan alam arwah. Terasa lebih kelihatan aspek dramatis pertarungan antara Sri dan Sabdo Kuncoro dalam ritual pembebasan, ketimbang jika menggunakan cara-cara klise pada masa lalu yang cenderung lebih cepat. Misalnya, setan akan akan kesakitan kemudian musnah jika diperciki air yang telah dibacakan ayat-ayat Quran atau dimantrai.

Dengan mengedapkan dukun ketimbang kiai, Sewu Dino  berada sebaris dengan film-film horor hari ini—misalnya, Lampor: The Flying Coffin  (2019) besutan Guntur Soeharjanto. Lebih dari itu, ia juga berhimpun dengan bangkitnya kembali komunitas-komunitas agama lokal—bahkan apirasi religius baru yang kerap dikategorikan sebagai “aliran sesat”—yang selama ini telah digencet dan dipinggirkan oleh negara dan dipersekusi oleh organisasi massa Islam. Kekuatan-kekuatan religius lokal itu berperan penting dalam menciptakan kehidupan bersama yang lebih baik. Dalam perkara penyelamatan korban santet mereka punya peran juga.

Singkat kata, Sewu Dino  berwatak politis sekaligus subversif dalam menghadapi tekanan kekuatan religius ekstrem Islam hari ini, yang punya ambisi membereskan semua urusan di dunia fana ini—termasuk hendak menggagalkan konser Coldplay November nanti.

 

Apa yang Kupunya Sekarang. . .—Tampilnya Sri sebagai pahlawan yang berhasil membebaskan Dela dari santet mengandung banyak tafsiran. Tentu saja, Sewu Dino telah mengambil jalannya yang tepat, yakni, sebagai film horor yang tidak menggunakan otoritas atau pemimpin agama Islam sebagai pahlawan. Sebaliknya, ia memilih seorang perempuan dari kalangan orang kebanyakan, yang selama ini termarginalisasi, menjadi pahlawan baru. Dalam bahasa Timothy Tangherlini, sebagaimana dikutip James A. Miller, “Ketika para pemimpin agama gagal menghadapi ancaman hantu, penyembuh dari orang kebanyakan atau pengemis yang terpinggirkan secara kultural mengambil alih, dengan demikian itu menciptakan kritik terhadap otoritas tersebut.”

Namun, sebagai pahlawan dari kaumnya sendiri, Sri adalah orang yang menolak kemenangannya. Setelah berhasil membebaskan Dela dari santet, ia menolak segepok uang yang menjadi bayarannya dan itu membuat Karsa Atmodjo tidak habis pikir. Penolakan itu menggemakan lagi kata-kata Oda Mae dalam film Ghost (1990) karya Jerry Zucker, “Now that I have it, I don’t want it” (Apa yang saya punya sekarang adalah apa yang tidak saya inginkan). Sri menolak bayaran tanpa argumen. Setidaknya, argumen itu tidak dikatakan langsung kepada Karsa Atmodjo—apalagi kepada penonton. Rupanya, tindakan itu dibenarkan oleh Sugik (Rio Dewanto), sopir keluarga Karsa Atmodjo. “Jika kamu terima, kamu tidak akan lepas dari perjanjian dengan Mbah Karso,” kata Sugik.

Sejatinya, penolakan itu adalah pemutusan rantai hubungan Sri dengan lingkaran setan perang santet antara Karsa Atmodjo dan Sabdo Kuncoro. Tetapi, bisa jadi, semua itu karena praktik pembebasan telah mengbubah kesadaran Sri. Dari motivasi demi mendapatkan uang menjadi demi menolong sesama perempuan yang menderita habis-habisan. Dengan begitu, Sri beroleh kemuliaan sebagai pahlawan sejati, yang tanpa pamrih—meski itu semua tidak membebaskannya dari belenggu kemiskinan. Ia tetap tidak bisa mengobati ayahnya yang sakit.

Tindakan ini bisa dibaca secara politis. Dengan menolak bayaran yang menjadi haknya, Sri telah mengkritik sekaligus mempermalukan kaum kapitalis (perempuan) yang telah mengeksploitasinya. Setelah ini, mungkin Karsa Atmodjo akan berpikir ulang jika kembali mengalami hal serupa dan mesti mencari lagi penolongnya.

Apakah dengan begitu semuanya telah selesai? Ternyata tidak.

Bujukan atau desakan untuk kembali ke dalam lingkaran eksploitasi Karsa Atmodjo terus berlanjut. Hingga film ini menjelang berakhir, Sri masih mendapatkan segepok uang yang telah ditolaknya tergeletak di depan pintu rumah orang tuanya. Ia kemudian menaruh uang itu di tengah jalan, agar si pengirim mengambilnya kembali, sebab sejatinya ia tahu siapa yang mengirimkannya. Dari kejauhan tampak Sugik memperhatikan Sri, selanjutnya perlahan-lahan ia menjalankan mobil majikannya.

 

 Hantu dan Efek PengasinganSewu Dino  juga menghindari humor sebagai salah satu tema yang penting dalam film horor. Dalam film-film horor Indonesia, bukan sekali dua kita menemukan ketika situasi menakutkan terbangun, di situ pula muncul sesuatu yang menggelikan. Ketakutan selalu menimbulkan efek tawa. Dalam film-film parodi horor—Scary Movie  salah satunya—yang lucu dan yang seram saling mengisi satu sama lain, bahkan dengan plot yang seakan-akan telah terbakukan.

Namun, ada juga film horor yang pada salah satu bagiannya ia bermain-main dengan hakikat kehororannya. Dalam hal ini, ancaman teror hantu diguncangkan dengan sikap kritis terhadapnya, melalui humor misalnya. Contoh paling gampang adalah film Malam Satu Suro (1988) besutan Sisworo Gautama Putra—ini adalah versi “bikin ulang” atas film Sisworo sebelumnya Sundel Bolong (1981), dengan para pemain yang kurang-lebih sama. Kemunculan Sundel Bolong (Suzzana) justru menjadi perdebatan seru dan lucu di antara tukang becak (Dorman Borisman) dan centeng (Bokir). Humor di sini bukan hanya sebagai selaan atau penundaan kepada ketakutan akan teror hantu, tetapi juga sebagai sanggahan atas kepercayaan kepada takhayul itu sendiri. Kepercayaan kepada hantu adalah sesuatu yang tidak masuk akal. “Itu adalah kepercayaan orang-orang kampung,” kata Bokir.

Ada verfremdungseffekt (efek pengasingan) yang bekerja sangat baik di sini. Salah satu tujuannya adalah agar penonton tidak terlalu terhanyut pada cerita horor, bahwa semua itu hanya cerita rekaan dan kita menontonnya untuk penghiburan. Seakan menghindari strategi naratif Brechtian, Sewu Dinojustru menggedor kita untuk terus-menerus masuk ke dalam perangkap horor tanpa sedetik pun kita berjarak atau bersikap kritis terhadapnya—apalagi mengolok-oloknya. Nalar rasional sebagaimana diusung Bokir dalam Malam Satu tidak bekerja dalam Sewu Dino. Mereka yang terlibat dalam pembebasan Dela, mau tidak mau, harus percaya konstruksi irrasionalitas santet, bahwa santet kiriman Sabdo Kuncoro sangat mematikan. Apalagi jika Sangarturih muncul dari tubuh Dela.

Untuk sampai ke sana, suasana pondok tempat Dela dikucilkan di tengah hutan dibikin remang-remang. Alasan utama adalah karena tidak adanya sambungkan listrik ke pondok tersebut. Lantas dinding pondok dan perabot di dalamnya yang tampak tua—termasuk pompa air kuno yang kerap rusak dan sengaja digunakan untuk memicu ketegangan. Belum lagi kerangka keranda yang dibikin dari bambu—bukan stainless steel sebagaimana sekarang ini—dan penutup kelambu yang kusam-tua. Ruangan dibuat sempit agar tokoh yang ketakutan kelak tidak gampang melarikan diri.

Sebenarnya, remang dan gelap bisa diatasi dengan lampu minyak tanah dan lilin. Tapi, kita tahu kemudian, lilin itu gampang mati dan korek api kayu—ah, kenapa pula bukan korek api gas—seakan ikut mempersulit siapa saja yang hendak menyalakannya. Sri, Dini dan Erna yang terjebak dalam ketakutan dibuat saling berdebat dan saling menyalahkan. Harus ada pula satu tokoh yang keluar dari kesepakatan. Itulah Erna yang membiarkan Dela kabur dari kamar, dan pengkhianat semacam Erna harus menerima nasib sial di tengah jalan. Ketika Sangarturih yang kita tunggu itu muncul, jarak kamera dibuat sangat dekat dengan wajah tokoh yang ketakutan, jeritan keras, musik mengejutkan—dan teror itu telah menghibur kita.

Singkat kata, Kimo Stamboel telah menggunakan hampir semua  jurus film horor agar filmnya ini bisa menakutkan sekaligus menghibur penonton. Akan tetapi, lihatlah kemudian bagaimana filmnya itu bernaung di bawah bayang-bayang Hollywood—ah, mana ada film Indonesia hari ini yang tidak dibayang-bayangi Hollywood?

 

Bayang-bayang Hollywood—Latar kebun tebu dalam Sewu Dino teramat penting untuk diabaikan. Tentu saja, perkebunan tebu adalah sesuatu yang khas di Indonesia, sebab Indonesia adalah salah satu negara penghasil gula terbesar di dunia. Yang jadi soal dengan kebun tebu dalam film ini adalah begini: Bagaimana sebentang kebun tebu bisa menjadi tempat persembunyian Sabdo Kuncoro. Sebenarnya, kebun tebu adalah tempat persembunyian yang rawan—jika bukan mustahil. Jika masa panen tiba, tidak ada lagi sela untuk sembunyi karena semua pohon tebu akan ditebang dan akan kelihatan bentang lahan yang kosong sekaligus penuh dengan dedaun dan bonggol tebu kering. Sebuah gubuk yang semula tersembunyi akan jadi sangat kelihatan dari arah manapun kita menatapnya. Dengan kata lain, kurang cukup raison d’etre untuk membangun tempat persembunyian di kebun tebu.

Sebaliknya, tempat persembunyian Sabdo Kuncoro di ladang tebu dibuat sangat misterius, seperti berada di tengah-tengah labirin yang bisa menyesatkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Bayangkan, bagaimana sineas Indonesia punya bayangan tentang labirin di kebun tebu—jika tidak menonton lebih dahulu film Shining (1980) karya Stanley Kubrick? Agar perkebunan tebu itu terkesan tersembunyi dan tidak dikenal, tokoh seperti Dini yang sudah berpengalaman mendampingi Dela mengaku tidak tahu di mana ada kebun tebu seperti yang muncul dalam mimpi Sri. Mungkin juga dia berbohong.

Pemilihan ladang tebu sebagai tempat persembunyian, saya kira, bisa dijelaskan dengan cara lain. Secara rupa perkebunan tebu itu sangat mengasyikkan: hijau, luas, misterius—apalagi dengan pewarnaan yang bagus dalam Sewu Dino. Tetapi, jika kita cermati kerapatan dan kehijauan rumpun tebu itu, akan segera tersedot kita kepada kerapatan dan kehijauan ladang jagung dalam film-film Hollywood yang bertemakan bebegig alias “scarecrow”—apa pun judul spesifiknya. Ladang jagung di Amerika Serikat dan ladang tebu di Indonesia adalah sumber teror yang sama-sama lahir dari alam yang tidak sepenuhnya ramah. Yang hijau di sini bukan lagi lambang kesejahteraan, sebaliknya, malapetaka dan kematian.

Katakanlah, Sri yang dalam mimpinya itu terbangun di liang lahat di tengah kebun tebu, kemudian keluar dari liang lahat dan menyusuri jalan-jalan setapak yang menyerupai labirin dan tiba-tiba ia menemukan seorang lelaki yang siap menyerangnya—dan seterusnya. Adegan ini berbanding lurus dengan teror yang dialami Sarah T. Cohen dalam Scarecrow Revenge (2019). Dari balik rimbun kebun jagung, menyibaklah sosok pembunuh—dan seterusnya.

Juga, pembebasan Dela selaku korban santet, mau tidak mau, bersisian dengan pembebasan seorang gadis kecil nun di sana yang kerasukan iblis, apakah ia bernama Regan MacNeil atau Emily Rose. Polanya hampir selalu sama. Seorang anak yang tidak berdosa kerasukan iblis dan ia membutuhkan seorang pendeta/pastor untuk membebaskannya dari cengkeraman iblis. Dalam film-film horor Hollywood bertema pengusiran setan (eksorsisme) ini, peran pendeta atau pastor sebagai wakil Tuhan di bumi sangatlah kuat. Sebaliknya, Sewu Dinomemasang dukun, bukan kiai, untuk membebaskan Dela—dalam hal ini: pilihan Kimo terlihat lebih politis dan berani.

Akhirnya, selalu bisa ditebak, si korban mati, bersama kekuatan setan yang merasukinya. Di sini, setan sebagai “sang abjek” (the abject)—jika harus meminjam istilah Julia Kristeva—telah dimusnahkan. Kekacauan telah dibereskan, tertib sosial dikembalikan seperti sedia kala. Atau, si setan mati tetapi si korban tetap hidup. Dela selamat. Penyakit akibat santet yang semula merundung Karsa Atmodjo juga sembuh pula. Dengan kata lain, serba-membahagiakan.

 

Pascamodern Setengah Hati—Satu hal yang menarik dari Sewu Dino adalah ritual pembebasan Dela. Sebagai film horor yang seluruh kekuatannya diserahkan kepada kepercayaan terhadap klenik lokal, maka pembebasan Dela juga mengikuti ritual perdukunan. Pembebasan Dela akan berlangsung di alam arwah—yang pada dasarnya mirip dengan alam mimpi dalam film A Nightmare on Elm Street karya Wes Craven. Sementara ritual pembebasan berlangsung dalam alam nyata, di sebuah liang lahat di depan pondok, dengan pendampingan Tamin. Maka, tubuh Sri yang terbaring pasrah di liang lahat, setelah disiram darah dan dibacakan mantra, siap bertarung dengan Sabdo Kuncoro di alam arwah. Di sini, apa yang semula disebut alam arwah, bagi Sri kemudian adalah alam nyata—terutama karena wahana film telah mewujudkannya serealistis mungkin.

Sri sendiri, sebagai pelaku utama, sebenarnya tidak mengambil sikap yang tegas. Ia manut-manut saja. Tidak menolak, tidak pula menuruti dengan sungguh-sungguh, setengah hati. Tetapi, apa yang kemudian terjadi, terjadilah. Sebagaimana telah diramalkan, Sri berhasil membunuh Sabdo Kuncoro di alam arwah—di ladang tebu yang semula muncul secara beruntun melalui mimpinya.

Peleburan alam nyata dan alam arwah, mimpi dan realitas, adalah watak pascamodern film horor—sebagaimana disinggung oleh Isabel Pinedo dalam “Recreational Terror: Postmodern Elements of the Contemporary Horror Film”. Pada titik ini bisalah kita menyebut Sewu Dino sebagai film horor pascamodern. Akan tetapi, soalnya kemudian adalah watak-watak yang lain memperlihatkan perlawanan terhadap watak yang satu ini, sehingga film ini menjadi “pascamodern setengah hati”. Serba-campur aduk, yang penting bisa membikin penonton merinding.

Misalnya, mengasingkan korban santet ke tengah hutan kurang-lebih sama dengan mengasingkan orang gila ke dalam “kapal orang gila” dan “rumah pengurungan” hingga “rumah sakit jiwa” dalam sejarah Eropa. Korban santet dipandang sebagai sesuatu yang abnormal, mengganggu kenyamanan, karena itu ia harus dipisahkan dari normalitas dunia keseharian masyarakat pada umumnya. Dengan kata lain, disrupsi teror Sangarturih dalam kehidupan sehari-hari si nenek, apalagi ia adalah orang kaya dan berkuasa, sebisa mungkin, jangan terjadi. Jika pun harus terjadi, sebaiknya nun di tengah hutan.

Dengan mengambil hutan sebagai locus teror Sangarturih, Sewu Dino tampaknya ingin berdamai dengan selera publik. Atau, ingin bernostalgia. Asumsinya, horor Sangarturih hanya akan bekerja maksimal jika ia berlangsung di sebuah gubuk tua di tengah hutan. Imajinasi seperti ini cocok dengan film-film horor Indonesia masa lalu yang memilih perdesaan, dengan pohon-pohon besar yang menyeramkan, kuburan tua yang bikin merinding, sebagai lokasi utama. Kembali ke selera asal, bukan hanya perkara mi instan, tetapi juga jadi urusan film horor.

 

Cerita yang Hampir Bulat—Adegan pertama Sewu Dino adalah mengamuknya Dela di kamar pengasingannya. Dalam adegan yang berlangsung cepat dan agresi kekerasan yang tidak kenal ampun ia akhirnya melukai dan membunuh seorang perawatnya. Sampai di sini kemunculan Sangarturih seakan-akan hendak mengatakan bahwa hantu atau kekuatan teror lainnya muncul minta didengarkan dan yang tidak kalah penting, untuk diingat bahwa ia berbahaya, bahwa manusia menanggung dosa kepadanya.

Adegan ini juga sebuah bocoran bahwa film ini berisi kekerasan dan untuk mengatasi subjek yang kerasukan itu mesti dihadirkan sosok yang jauh lebih kuat, dan ketemulah kita pada sosok Sri. Maka cerita bergerak kepada sosok Sri yang bekerja sebagai pelayan warung makan. Ia mengeluh kesulitan uang untuk mengobati ayahnya. Maka muncul iklan asisten rumah tangga, maka melamarlah Sri dan akhirnya masuk ke dalam ruang dalam rumah Karsa Atmodjo—dan seterusnya.

Cerita yang ditulis oleh Agasyah Karim dan Khalid Khasogi—berdasarkan cerita dengan judul yang sama karya SimpleMan—nyaris bulat. Dengan cerita seperti ini membuatSewu Dino menjadi satu dari sedikit film Indonesia—lebih-lebih film horor—hari ini yang punya cerita cukup baik dan masuk akal. Sudah lama kita dirongrong oleh film-film dengan cerita yang buruk, dan kali ini kita mendapatkan penghiburan darinya.

Belum lagi, Sewu Dinomencapai realisme yang matang dengan menggunakan ragam cakapan bahasa Jawa hampir sepanjang cerita. Film-film dengan bahasa daerah—yang terpenting Ziarah(2016) karya B.W. Purba Negara—atau ragam cakapan anak muda milenial, telah memberikan efek realisme yang kuat buat  sinema Indonesia belakangan ini. Lebih dari itu, film-film jenis ini telah keluar dari perangkap rezim bahasa Indonesia yang baik dan benar, yang di masa lalu telah membuat tokoh-tokoh cerita film itu menjadi asing di lingkungannya sendiri.

Dengan watak realisme yang kuat dan cerita yang nyaris bulat, bolehlah kita berharap kepada Sewu Dino. Bahwa dalam film horor yang utama bukan melulu menebar ketakutan, tetapi juga mengedepankan cerita yang beres. Untuk mencapai cerita yang beres, saya kira, para sineas perlu menengok kepada karya sastra, ya, kepada karya sastra yang bagus. Lain tidak. Zen Hae

 

 

Dibaca

kali